Apapunhadiah yang diberikan atas nama almarhum membantu tubuh halus almarhum untuk melintasi jalan menuju dunia Yama dengan sedikit mudah. Gotra, jika dibandingkan dengan soroh atau sistem kawitan di Bali, sama-sama mengacu pada akar muasal dalam garis keturunan laki-laki seseorang. Memegang garis silsilah gotra dipraktikkan di antara
Om Swastiastu, Sepertinya sudah lama saya tidak menulis tentang Hindu di Blog saya ini, berhubung saya baru datang dari Touring Religi ke Pura Ulun Danu Batur dan Pura Besakih pada hari Kamis tanggal 7 April 2016 jadi saya ada ide untuk menulis sedikit tentang apa itu Kawitan yang ada di Bali. Mungkin sudah banyak orang yang mengenal dengan kata Kawitan ini, namun tidak ada salahnya juga saya coba tulis di sini. Nah berikut akan saya coba tulis kembali yang saya ambil dari beberapa sumber. Seperti kita ketahui kalau di Bali adalah menganut sistem keturunan Patrilineal atau berdasarkan keturunan dari keturunan lelaki atau Purusa, jadi oleh sebab itu kita patut tahu sebelum kita membahas tentang Kawitan ini yang mungkin bisa menjadi dasar untuk mengetahui asal muasal dari Kawitan yang ada di Bali saat ini. Kawitan berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya Kawitan. Jadi Kawitan adalah pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan Kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali dan menetap di Bali sampai punya Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Bahwa roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Kawitan Di luar Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng pertahanan dan pengingat, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di jawa Kawitan tidak selengkap di Bali, di Jawa Kawitan yang ada hanya dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatannya tidak sekuat konsep Kawitan di adanya banyak Kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama Kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana Kawitan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya Kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, Dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri. Makna Pura KawitanPura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur oleh umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang Akan KawitanPernahkah semeton sering merasa tidak tenang, tentram atau sakit-sakitan. Itu bisa jadi kemungkinan karena melupakan kawitan / leluhur. Tidak berarti leluhur menyakiti / membuat membuat tidak merasa nyaman, akan tetapi agar kita tidak melupakan para leluhur dan selalu berbhakti kepada leluhur. Karena itu merupakan salah satu penerapan dari pelaksanaan Panca Srada. Pengertian Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu. 1. Percaya terhadap adanya Brahman percaya akan adanya Sang Hyang Widhi2. Percaya terhadap adanya atman percaya akan adanya Sang Hyang Atman3. Percaya terhadap adanya karmaphala percaya akan adanya hukum karma phala4. Percaya terhadap adanya punarbhawa percaya akan adanya kelahiran kembali5. Percaya terhadap adanya moksa kepercayaan akan terjadinya persatuan Atman dengan Brahman bila Atman sudah suciMungkin ada semeton yang masih dalam Pencarian Keyakinan Diri atau Pencarian Apakah Kawitannya, hendaknya sering-seringlah sembahyang dan Meditasi . Memohon petunjuk kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan keteguhan hati yang kuat serta kesabaran. Niscaya akan diberikan jalan yang benar menuju ke sendiri adalah warih Dalem, Kawitan saya adalah Dalem Tarukan yang berpusat di Bangli atau disebut juga Para Gotra Sentana Dalem Tarukan. Mungkin pembaca di sini ada yang sama Kawitannya dengan Saya? Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada makna dan sejarah yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi, Om Santhi, Santhi, Santhi Om.sumberIda Pendada Made Gunung, okanila.
KajangKawitan. Kajang Kawitan pinaka angkeb kasurat diatas kain kasa dengan rerajahan yang disesuaikan dengan Lontar Tutur Kamoksan Kalepasan sebagai sarana pelengkap dalam upacara sawa wedana dan atma wedana : Kajang Pokok : Kajang pengawak, dilengkapi dengan Acintya maha sunia, Eka Aksara "Ongkara" dan aksara suci lainnya. Tulisan ini dikutip secara murni dari artikel/tulisan Bhagawan Dwija Mohon izin Bhagawan semata-mata demi pencerahan umat yang masih diliputi awidya. “Soroh” bisa diterjemahkan sebagai group of related families atau disingkat klan, yakni paguyuban orang-orang dari garis keturunan tertentu yang di Bali disebut sebagai “tunggal Kawitan”. Definisi Kawitan beragam, ada yang mengatakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali, tetapi ada pendapat kedua yang lebih moderat menyatakan bahwa Kawitan berakar dari kata wit artinya asal mula, sehingga Kawitan manusia adalah Brahman atau Hyang Widhi. Pendapat kedua ini dikesampingkan sehingga pengertian yang pertama menjadi lebih populer di masyarakat Hindu etnis Bali, walaupun dalam aplikasinya tidak konsisten. Misalnya Sri Kesari Warmadewa dari Muangthai yang mula pertama datang di Bali tahun 913 M mempunyai keturunan bernama Airlangga. Selanjutnya beliau mengembangkan keturunan yang banyak antara lain Sirarya Kepakisan. Kini di Bali tidak ada yang mengaku atau menyebut Kawitannya Kesari Warmadewa atau Kawitan Airlangga, tetapi ada Kawitan Arya Kepakisan. Demikian pula selanjutnya, Arya Kepakisan yang mengembangkan banyak keturunan antara lain I Gusti Palengan diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Peladung” dan cicitnya yang bernama I Gusti Penyarikan Dauh Bale Agung diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Arya Dauh”. Contoh lain yakni nama bhiseka Ida Dalem Sri Kresna Kepakisan yang datang di Bali tahun 1350 M tidak digunakan sebagai nama Kawitan oleh keturunan beliau, yang kini memilih menggunakan nama putra-putra beliau sebagai Kawitan, antara lain Dalem Samprangan, Dalem Tarukan, dan Dalem Sagening. Demikian banyaknya ragam versi Kawitan sehingga di Bali dewasa ini ada puluhan nama-nama soroh. Soroh dalam lingkup kecil disebut Dadia yang biasanya mempunyai Sanggah Pamerajan khusus. Dadia bertujuan mempererat tali persaudaraan atau pasemetonan, selain untuk kepentingan ritual dalam aspek pemujaan leluhur. Dalam lingkup yang lebih besar misalnya kesukuan Bali, soroh sering menimbulkan perpecahan bila warga soroh satu dengan yang lainnya tidak saling menghargai dan menghormati. Lebih-lebih bila sejarah leluhur di masa silam diungkit-ungkit kembali dengan fanatisme berlebihan sehingga timbul semacam “kelas-kelas” di mana masing-masing menganggap kelasnya lebih tinggi dari yang lain. Yang merasa kelasnya lebih tinggi, memandang soroh yang lain sebagai parekan atau hambanya, padahal mungkin dahulu leluhur-leluhur mereka bersaudara kandung. Fanatisme soroh sering pula menimbulkan perseteruan bahkan permusuhan. Suatu ketika di sebuah Desa di Buleleng ada kelompok soroh yang disebut Dadia “X”. Entah apa sebabnya beberapa kepala keluarga tiba-tiba menyatakan bahwa kawitan mereka bukan “X” tetapi “Y”. Dadia yang terdiri dari puluhan kepala keluarga itupun pecah. Ada yang tetap bertahan sebagai kawitan X dan ada yang ikut kawitan baru Y. Perseteruan tidak dapat diselesaikan bertahun-tahun. Akhirnya diadakan musyawarah dan Sanggah Pamerajan-pun dibagi-bagi dengan pembatas tembok. Masing-masing lalu membangun kembali Sanggah baru. Hubungan kekeluargaan yang terjalin bertahun-tahun putus, tidak mengaku bersaudara, tidak mesidi-kara tidak saling menyembah atau tidak turut terkena cuntaka kendatipun ayah dan ibu kandung mereka sama. Ceritra “lucu” masih banyak. Ada beberapa keluarga dari Dadia “A” karena merasa nasib/ kehidupannya semakin buruk pergi ke balian dukun bertanya di niskala alam tidak nyata kenapa gerangan mereka ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Si dukun merem-melek menyatakan dirinya kerawuhan intrance roh leluhur mereka seraya dengan sedih menasihati cucu-cicitnya bahwa Kawitan mereka bukan soroh “A” tetapi soroh “B”. Tercengang dan berbesar hati, mereka mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk percaya pada wejangan leluhur melalui si dukun. Tidak semuanya setuju, sehingga Dadia itu pecah. Dalam kasus ini Sanggah Pamerajan tidak dibagi-bagi, tetap utuh namun “aneh” karena mempunyai dua hari piodalan yang diselenggarakan oleh masing-masing kelompok, yaitu piodalan Bhatara Kawitan A di hari Anggara Prangbakat , dan piodalan Bhatara Kawitan B di hari Buda Wage Klawu. Kawitan A dan B yang dihaturi piodalan distanakan di pelinggih yang sama, yaitu meru tumpang tiga. Masih ada lagi ceritra yang lebih lucu. Ceritra awalnya sama seperti kasus di atas, di mana dua saudara kandung masing-masing memilih kawitan yang berbeda. Si kakak ingin melaksanakan upacara Pitra Yadnya bagi ayahnya yang sudah lama meninggal dunia. Tentu saja ia menggunakan tata-cara menurut keyakinan kawitannya, sebut saja kawitan “C”. Beberapa bulan kemudian si adik ingin pula menunaikan kewajiban bhakti pada ayahnya lalu melaksanakan upacara Pitra Yadnya menurut keyakinan kawitan lain, sebut saja “D”. Nah bagaimana mungkin satu arwah di-aben dua kali dan dengan tata-laksana atribut soroh yang berbeda pula? Kesibukan orang-orang Bali mencari identitas soroh terlihat sejak tahun 1960, menjelang upacara Eka Dasa Rudra yang diselenggarakan di Pura Besakih tahun 1963. Pemerintah Daerah Bali mengumumkan kepada rakyat agar mengadakan upacara Pitra Yadnya bagi leluhur mereka sehingga menjelang Eka Dasa Rudra kuburan-kuburan bersih dari dengkot mayat yang ditanam. Kebersihan kuburan ini perlu untuk menjaga kesucian jagad Bali. Ketika itu banyak orang yang tidak tahu apa soroh-nya, terutama umat Hindu di Buleleng, karena dahulu di kala leluhurnya bermigrasi dari Bali Selatan sengaja menghilangkan identitas soroh mereka dengan berbagai alasan, antara lain keselamatan jiwa dari ancaman hukuman raja. Untuk upacara Pitra Yadnya ngaben identitas soroh sangat perlu, karena salah satu sarana upacara yang bernama kajang memang berbeda bagi setiap soroh. Mereka yang kemudian menemukan sorohnya melalui jasa dukun saling berhubungan dengan orang yang se-soroh untuk membentuk paguyuban. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi wadah yang efektif untuk membina kerukunan dan menjalinan semangat kekeluargaan. Beberapa soroh tertentu ada yang mendirikan yayasan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warganya. Ada pula yang mengusahakan upacara diksa bagi warganya yang mampu menjadi sulinggih pendeta, sehingga sejak masa itulah adanya gelar-gelar sulinggih selain Pedanda. Ada tokoh politik yang “jeli” melihat potensi paguyuban soroh yang mempunyai massa banyak, kemudian memanfaatkan soroh untuk jalur kampanye. Media-pun ramai dengan berita menjelang Pilkada di Bali, karena organisasi diselewengkan dari azas pendirian semula. Memang benar, paguyuban soroh mestinya jangan dicampuri permainan politik, karena jika demikian rakyat Bali akan semakin terpecah-belah dengan berbagai dampak negatif. Lebih jauh lagi hendaknya fanatisme soroh tidak perlu dikembangkan, karena dapat mengarahkan umat Hindu jauh dari tujuan agama yang utama yakni membina kasih sayang pada sesama mahluk ciptaan Hyang Widhi. 13 Membaca Mantram-mantram dalam agama Hindu. 1.4 MenghafalMantram-mantram agama Hindu. 2. Memiliki perilaku jujur, disiplin,tanggung jawab,santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. 2.1 Memiliki perilaku jujur melaluiajaran Subha Karma dan memperkecil ajaran Asubha Karma. Om Swastiastu, Banyak orang bingung mencari Kawitan karena pada zaman Bali Kuna belum ada pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Stelah kalahnya Bali pemerintahan dipegang oleh Dalem Baturenggong dengan dibantu Danghyang Nirarta yg diberi gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada pemujaan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yg sudah ada di Bali sebelum masuknya Dh Nirarta menjadi bingung untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum masuknya Dh Nirarrta. Pertanyaannya, dimanakah kawitan dan padharmanya para raja dan para ksatria Bali Kuna itu? Sehingga banyak masyarakat Bali Mula contoh Kubayan, Dukuh, Karang Buncing, Tangkas, Bandesa, dimasukkan ke soroh Pasek, padahal Kubayan itu adalah jabatan rohaniawan desa Bali Kuna sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dukuh adalah turunan raja2 Bali Kuno yg diberi gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yg diberi julukan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak sekali kontroversi mengenai sejarah Bali ini yang perlu diluruskan. Catur Lawa Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan itu bukan soroh atau kelompok warga. Catur Lawa itu adalah 4 kelompok tugas yang membantu kelancaran jalannya upacara yang ada di Pr Penataran Besakih. Dukuh yang mempunyai tugas bagian simbol suci Tuhan atau yang “muput” upakara, Penyarikan mempunyai tugas bagian administrasi, Pande dan Pasek mempunyai tugas membuat sarana dan prasarana lainnya misalnya, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan kerangka lainnya. Jadi dimanakah Kawitan dan Pedharmar masyarakat Bali Mula itu ?? Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan Stana Leluhur Yang Disucikan, Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu berselisih dengan pusat/Majapahit dan Beda Muka raja berkepala babi oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi. Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan 2006184, serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf ”a” awal diganti dengan huruf ”e”, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca Riana, 2009100,377. Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963. Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu. Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar istana baru yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu. Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham Bedahulu dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati mahapatih kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi. Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya. Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala perangkap oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung …. Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Yang menjadi pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder 1995786, kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih senapati di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan Gusti Ularan, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru. Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek Kyayi Agung Pasek Gelgel dengan Catur Lawa yaitu 4 empat kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi bakat dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh klen, kasta. Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya. Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen kelompok warga. Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain. Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008. Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh pendeta yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka. Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit. Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih bulan dan yang satu lagi mengikuti wuku minggu. Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga bulan ke 9 dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa bulan ke 10. Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe. Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya; dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya. Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya. Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra kelompok warga itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain? Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan stana suci para leluhur. Dalam Kamus Bali-Indonesia Tim 801 menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula warga, wangsa, treh, gotra. Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu? Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan “Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewa”. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan lewat’ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita. Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya ibu yaitu melalui tali pusar ari-ari. Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari mungkin’ ari-ari tali pusar ini disimbolkan menjadi selempot senteng, karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng selempot yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri. …. kira2 demikian sejarah munculnya konsep pemujaan KAWITAN di jagat Bali ini …
Berdasarkankajian ini dan berdasarkan petunjuk dari ida betara lingsir bhujangga yang diterima oleh penulis maka untuk karya agung di kawitan bhujangga Bali ini seharusnya mengambil pantai Batu Bolong Canggu, bukan pantai di Tabanan. Alasannya : Seperti yang kita ketahui pura Batur merupakan stana utama dari Dewa Wisnu di tanah Bali.
Kata Kawitan ini berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal-usul manusia adalah Leluhur. Jadi, sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Dan Kawitan merupakan pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali. Dasar pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Yaitu, roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Ada juga yang mengartikan pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya. Di luar Pulau Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Nah, konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di Pulau Jawa kawitan tidak sedetail seperti di Bali, yang ada adalah dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatanya tidak sekuat konsep kawitan di Bali. Mengenai konsep adanya banyak kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Contoh, misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Dan begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana kawitan tersebut. Sebab, hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri. Pura Kawitan merupakan tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Maka dari itu Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Berbagai contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya. Pasti semeton pernah mungkin sering merasa tidak tenang, tentram atau sakit-sakitan. Nah, itu mungkin bisa jadi kemungkinan karena melupakan kawitan / leluhur. Bukan berarti leluhur menyakiti / membuat tidak merasa nyaman, akan tetapi agar kita tidak melupakan para leluhur dan selalu berbhakti kepada leluhur. Sebab itu merupakan salah satu penerapan dari pelaksaan Panca Srada. Dalam pengertian Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu. Percaya dengan adanya Brahman percaya akan adanya Sang Hyang Widhi Percaya dengan adanya atman percaya akan adanya Sang Hyang Atman Percaya dengan adanya karmaphala percaya akan adanya hukum karma phala Percaya dengan adanya punarbhawa percaya akan adanya kelahiran kembali Percaya dengan adanya moksa kepercayaan akan terjadinya persatuan Atman dengan Brahman bila Atman sudah suci Jika ada semeton yang masih dalam Pencarian Keyakinan Diri atau Pencarian Apakah Kawitannya, hendaknya sering-seringlah sembahyang dan Meditasi. Dan memohon petunjuk kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keteguhan hati yang kuat serta kesabaran. Berharap sepenuh hati, dan niscaya akan diberikan jalan yang benar menuju ke Kawitan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk semeton. Seandainya ada makna dan sejarah yang kurang lengkap atau kurang tepat. Silakan dikoreksi. Matur suksma….

FungsiSanggah atau Pamerajan berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah atau Pamerajan adalah berfungsi sebagai berikut: 1. Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur/Kawitan. 2. Sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam rangka mempererat tali persaudaraan di lingkup keluarga.

- Pada kesempatan ini akan dibagikan penulisan aksara Bali dari nama pelinggih, pura seperti Surya, Kawitan, Melanting, Kemulan dan lain sebagainya. Langsung saja dilihat di bawah ini penulisannya dalam aksara Latin Aksara Bali Arti Apit Lawang [✔] h pi tÞ w*, Balé [✔] b el, Balé Agung [✔] b el h gu*, Balé Bandung [✔] b el b nÑ¡*, Balé Bunder [✔] b el bu nÑ$ , Balé Kambang [✔] b el k mã* , Balé Gedé [✔] b elg ed, Balé Kulkul [✔] b el ku l¡ l/ , Balé Majalila [✔] b el m j lø l/ , Balé Malang [✔] b el ml* , Balé Mujur [✔] b el muju , Balé Mundak [✔] b el mu nÑ k/ , Balé Mandapa [✔] b el m nÑ p , Balé Manguntur [✔] b el m £u nÓ¡ , Balé Murda [✔] b el mU dÒ , Balé Ongkara [✔] b el O£or , Balé Pangambuhan [✔] b el p £ m¡ h n/ , Balé Pegat [✔] b el p g t/ , Balé Paselang [✔] b el p s l* , Balé Pelik [✔] b el p lø k/ , Balé Sakutus [✔] b el s ku tu s/ , Balé Salunglung [✔] b el s lu* lu* , Balé Sari [✔] b el sori , Balé Kembang Sirang [✔] b el k mã* si r* , Balé Sumangkirang [✔] b el ° su m £i r* , Balé Tegeh [✔] b el t g; , Balé Timbang [✔] b el tø mã* , Balé Wongkilas [✔] b el eWÿ £i l s/ , Betara [✔] v ªor, Betara Sangkara [✔] v ª or s \ r , Candi [✔] c xÒø , Candi Bentar[✔] c xÒø b nÓ , Candi Kurung [✔] c xÒø ku ru* , Catu mujung c tu mu ju*¾, Dalem [✔] d ò m/ , Darma [✔] Œ m , Dana Punia [✔] don pu xê, Déwa Buncing [✔] ed w bu ZÇ&ÿ¾¾, Déwa Hyang Putus [✔] ed w hê*¾ pu tu s/ ¾, Déwa Manik [✔] ed w m xø k/ , Déwa Kembar [✔] ed w k mã¾¾, Déwa Hyang [✔] ed w hê*, Déwa Hyang Anom [✔] ed w hê*¾ h eNÿ m/ ¾, Ganésa g en ´¾, Gunung Batur [✔] gu nu*¾ b tu¾, Gedong [✔] g eA*ÿ , Gedong Simpen [✔] g eA*ÿ si mæ n/ , Gunung Agung [✔] gu nu*¾ h gu*¾, Hyang [✔] hê* , Hyang Kompyang [✔] hê* eKÿ mæê* , Hyang Guru [✔] hê*¾ gu ru, Jero [✔] j eRÿ, Jero Nyoman j eRÿ eZÿo m n/ , Jero Luh j eRÿ lu ;¾ , Jro Pikul ejÉo pi ku l/ , Jro Pikul ejÉo pi ku l/ , Kemulan [✔] kmUln/, Kawitan [✔] k wi t n/ , Kayu Selem k yu s ò m/ ¾, Kerta Kawat k$¾ t k w t/ , Limas Catu [✔] lø m sÇ tu , Limas Sari [✔] lø m sŠori , Lumbung [✔] lu m¡*¾ , Manjangan Saluang [✔] m Zéÿ £ nŠ lÙ* , Manik [✔] m xø k/ , Melanting [✔] m l nÓ&¾, Maspahit m sæ hø t/ , Menjangan Seluang m Zéÿ \ n¾Š lu w*¾, Medal mdl/, Ngranjing £É Zéÿ&¾, Parhyangan [✔] p hê £ n/ , Pangaruman [✔] p £ rU m n/ , Piasan pê s n/, Pucak Sari pu c k¾Šo ri, Pasarén Sari p s er n¾Šo ri, Pulaki pu l kø, Pamuteran p mu t r n/ , Pegaluhan p g lu h n/ , Pabean p eb y n/ , Paibon p hø ebo n/ , Peraneman Kawitan p r n m n¾ wi t n/ , Peraneman Jajaran p r n m n¾é j r n/ , Pertiwi p$ tø wi¾, Pangrurah p \ɱ r ;¾¾, Padmasari p dß Sÿ ri, Patih Agung p tø ;¾ h gu*¾, Ratu Ngrurah [✔] r tu £É± r; , Pura Jebug Puncak Sari pu r j bu g¾æu ZÇÿ k¾Šori, Pesarén p s er n/ , Pitara/pitari t k×u, Penunggun Karang pnu \á¡ n¾ r*¾, Ratu Ngurah Jaksa r tu \u r ;¾ j k×, Sagara [✔] Sÿ g r , Sanggar [✔] s £á , - Sanggar Agung[✔] s £á h gu* , Sanggar Surya [✔] s £á sU y , Sanggar Tawang [✔] s £á t w* , Sanggar Tutuan [✔] s £á tu tÙ n/ , Sapta Patala [✔] s pÓ p t l, Surya [✔] sU y, Siwa Kemimitan ´ø w k mi mi t n/, Sri Rambut Sedana ´Éù r m¡ t¾Š d n, Tugu Karang tu gu k r*¾, Taksu [✔] t k×u, Ulun Danu [✔] hu lu nÑ nu, - -, Diupdate 3 Juni 2023 Tanda [✔] berarti sudah sesuai dengan penulisan pada kamus yang dikeluarkan oleh dinas kebudayaan. Tutorial Menggunakan Bali Simbar di Laptop/Komputer3 Aplikasi untuk Mengetik Aksara Bali di AndroidKumpulan Stiker Whatsapp Bahasa BaliDemikianlah postingan hari terkait dengan Penulisan Nama Pelinggih, Sanggah, Merajan, Pura Aksara Bali Surya, Kemulan, Kawitan, Pulaki, Melanting, Pabean, Paibon, LebuhJika ada pertanyaan silakan sampaikan pada kolom komentar atau bisa klik kontak yang ada di bawah iniInstagram bahasa_baliFacebook Belajar BahasaBaliYoutube Belajar BahasaBaliWhatsapp Belajar BahasaBaliSemoga bermanfaat, sampai jumpa dan terima kasih!aksara bali surya, penulisan nama pelinggih aksara bali, penulisan kemulan, kawitan dalam aksara bali, penulisan nama pelinggih dalam aksara bali lengkap KAWITANI GUSTI NGURAH BATU LEPANG Gianyar (Bali Post) - Desa Batuan, Sukawati ternyata tidak hanya menjadi lokasi lahirnya para seniman. Namun di lokasi ini, juga terdapat tempat suci yang menjadi salah satu tonggak sejarah Bali, pada era kejayaan Dinasti Warmadewa.Pura tersebut dinamakan Pura Dangin Pasar Batuan, yang juga merupakan kawitan dari I Gusti Ngurah Agung Batu Lepang.
When I set out to write about Balinese given names I thought I would just have to explain the four most common names that locals seem to use everywhere. But the Balinese Naming system is somewhat more complex than most common names are Wayan, Made, Nyoman, and Ketut but that is not the complete list. There are alternatives to these names. Nor do Balinese have distinct family names used by all members of the same family. However the Balinese naming system has an order that helps you identify people in different families and social Balinese naming system is used by up to 90% of the Balinese population in Bali and the adjacent islands of Lembongan, Ceningan and Penides. together with western parts of system is thought to have been followed by all Balinese until the Majapahits invaded from Java in the Fourteenth Century and brought the Hindu caste system, Catur Warna, with Balinese people were then considered to be part of the lowest Hindu caste, known as the Sudra while the Majapahits considered themselves to be in the “higher” Hindu castes the Triwarna meaning 3 colours namely Wasya, Ksatria and Brahmana. Before that the Balinese, had no caste system, even though they were Sudra caste system then incorporated the Balinese naming system while the higher classes had separate naming systems that are described further on in this people in the Sudra caste name their children depending on the order they are born as seen below, the same names apply to both males and born names Wayan, Putu traditionally for higher caste families, Gede, Ni Luh female onlySecond born names Made, Kadek, NengahThird born names Nyoman, Komang, or NgNga in very rural areasFourth born names Ketut – no other names. The name means little banana, the last banana in the bunch, thought to be derived from times when advisable family size was 3 childrenIf a family has more than four children, the cycle repeats itself, and the next ‘Wayan’ may be called Wayan Balik, which loosely translates to ‘another Wayan’.Family names are not really used in Bali, but it is common that a personal name is added. Giving children their names is very important because it is believed that naming a child can affect a child's life. Often the name is symbolic or carries a special meaning. In Bali, after a baby is 12 days old, a special name-giving ceremony is held called ‘ngerorasin’ . There are several factors considered in name giving, including the child’s sex, caste, clan, birth order and the parents’ choice. Additional "Given" names may be chosen due, for a variety of reasons including influence of popular culture or politics. These names may be a second or third Hindu name that is personal to the child usually with a positive meaning. An example could be Dewi goddess. Sometimes Balinese people use this Hindu name or shorten it to create a nickname. For example, Nuri might be short for when people introduce each other, they usually do not use their personal names, and simply call themselves Wayan, Ketut, etc. TriwarnaThe Triwarna, the three higher castes, Brahmana, Ksatria and Wasya use caste identifiers as the first part of a it is widely acknowledged that the caste system is no longer very important as it was in the past caste members are given names and titles which denote caste and position within a complex and patrilineal hierarchy. How they are named lets others know about the position/hierarchy of the other person. These days Balinese understand the meaning and even though, the caste system is no longer active, they do sometimes communicate, act and react differently based on the information they have extracted from the name of is a caste of merchants, administration officials, soldiers and people might be named as Gusti, Dewa or DesakMore commonly a Wasya man tends to be called Gusti Bagus followed by a personal name and a Wasya woman Gusti Ayu followed by a personal name. Gusti literally means "leader" as members of this caste were often families promoted from the Sudra caste. They often use positional names for the birth order of their children. Sometimes they borrow the whole order of the Sudra caste names, so it is possible to find a name like I Gusti Ketut Rajendra, male of the Wesya caste, fourth born, whose personal name is the past Wasya caste people would add Ngakan, Kompyang, Sang, or Si in front of their name,though nowadays most Wesya descendants do not use these names much is a caste of nobles, kings and warriors casteKsatria are the aristocracy. All of Bali’s kings are names will often begin with the names below and be followed by other given names as diescribed Agung male, Anak Agung Ayu or Anak Agung Istri femaleThe word Agung means "great", or "prominent".I Gusti Ngurah male, I Gusti Ayu femaleTjokorda, sometimes abbreviated as Tjok male, Tjokorda Istri female The word Tjokord literally means "the foot of the Gods", and is awarded to the highest members of the I Dewa, Dewa Agung, I Dewa male, Ni Dewa Ayu, Desak femaleBrahmana the highest caste that includes teachers, priests, judges, writers and philosophersThis Hindu priestly caste is not to be confused with native Hindu priests that have been in Bali before the Majapahits invaded. These native priests are actually from the Sudra caste and still look after the temples, bless Gamelan players before concerts, make and provide holy water caste officiate at larger ceremonies and festivals and have the titles Ida Bagus for a man and Ida Ayu for a woman, and a given personal name. Brahmin people often shorten these names, for example the businesswoman Ida Ayu Ramayanti is usually known as “Dayu Rama”When using their full names, Balinese people also add a prefix to indicate gender. ‘I’ is for men and ‘Ni’ is for women, so I Wayan Darma Putra would be a first-born man of the Sudra caste, while Ni Anak Agung Rai would be a woman of the Ksatria short for “Bapak”, father and Bu short for “Ibu”, mother are honorifics you would use as a form of respect with people older than you, or officials or people you don't know well. You could use “Kakak” with someone of a similar age to yourself. It literally means older brother or who change their casteIt is not unusual for someone in Bali to “change” caste, usually by marrying someone of a higher caste. A name often used by Sudra women who marry Wasya men is “Ibu Jero”. If a lady introduces herself as Ibu Jero she has literally changed her name to indicate she has been “admitted” jero to another Pande – people outside the caste Balinese clan that is outside the caste system is the Pande. . They claim descent from a single famous armourer that came to Bali with the Majapahit invaders. They enjoy certain privileges, such as a temple at the Besakih Mother Temple complex that they regard as equal in status to the Brahman temple. Some Pande still use the name Pande before their birth order name that identifies them as members of the Pande Balinese use “Western names”, although they are rarely given to them at birth. Nicknames in Bali can be based on anything including physical attributes such as Made Gemuk fat Wayan, character traits like Ketut Santi peaceful Ketut, or something for no particular reason such as Wayan John .caste balinesename balineseculture castesystem bali
Tabanan Pemkab Tabanan selalu berkomitmen memberikan dukungan dalam pembangunan di masyarakat. Hal itu ditunjukkan secara konsisten oleh Bupati Tabanan Dr. I Komang Gede Sanjaya, S.E., M.M. Seperti saat menghadiri uleman Pitra Yadnya Ngaben Bersama yang diselenggarakan masyarakat Desa Adat Gelagah, Desa Payangan, Marga, Tabanan, Jumat (5/8) sore. Balinese kittens have dark noses, ears, feet and piercingly blue eyes. Their fur is as deep as it is soft. With a nature as adorable as their appearance, this is one cute kitty that is going to need a seriously special name. Today I’ll share dozens of ideas to inspire the perfect name for your pet. Contents Boys namesGirls namesCelebritiesNames from Bali Taking a cat home is one of the most special and magical things you’ll ever do. Sure, weddings are nice and the birth of your first child is kind of okay, but it doesn’t really compare, does it…?! That feeling you get when falling in love with a feline and making the decision to welcome them into your home is pretty much unrivalled. We’d do it every day if we could. Coming Up With Ideas It’s fun to get really creative when you are naming a pet, as long as you still pick something you’re going to want to repeat for years to come. I’ve found shorter names work well, with no more than three syllables at most. Make sure it’s a different sound to any other members of the family, and why not try to brainstorm things that are related to a topic or hobby that has meaning to you. We’ve had a little think of some nice-sounding names for male Balinese cats and come up with a list of some of our favorites. And here they are MirageSammyThailerShadowSatraSmokeyManaBoribunPrijaSudKlahanSam Handsome Ideas When you’ve got the best looking cat on the block, he needs a name to fit. What about these names to evoke a dapper looking gentleman? ManojCharlieOscarLeoMaxOllieMiloTobyJasperOswaldSimba Female Balinese Cat Names These gorgeous girls’ names span the ages, from traditional to modern. LilyDaisyLucyLuluMillieBellaRubyLarsOpalWhimsyNovaTopazSorayaVegaAstroJoniAryisNeptuneFelicityInfinitiDustySnickers Elegant Inspiration A fully grown female Balinese truly is one of the grand dames of the cat world. Here are some striking names to suit her PreciousCinnamonBaby BlueFlowerCocoBellaLunaMollyRajahKatanaMaleeZinniaWilaSarojJasmineGoldyLotusCocoRosieLolaTillyBonnie Famous Cats Famous cats can be found in countless books, TV shows and movies. So we’ve cobbled together a list of some of the most famous Balinese cats and Siamese cats since they share the same striking point colors. Koko – From The Cat Who… series of books by author Lilian Jackson BraunYum Yum – Another Siamese from The Cat Who… seriesSagwa – Taken from the children’s book Sagwa the Chinese Siamese CatTao – The amazing cat from the classic kids’ film The Incredible JourneyKit – The familiar’ cat from hit witchy TV show CharmedPyewacket – From the 1958 Kim Novak movie Bell, Book and CandleShun Gon – From, obviously, The Aristocats!DC – from the movie That Darn Cat, yet another Disney film with a Siamese cat in itSkippyjon/Skippy – The Siamese cat hero of the Skippyjon Jones booksSi – One of the cats in Lady and the TrampAm – The other Lady and the Tramp Siamese cats You could always substitute Si’ and Am’ for Ba’ and Li’ if you took on two Balinese kittens! Balinese Names A cat as regal and sophisticated as the Balinese deserves something a little special. Balinese cats take their name from Balinese dancers. The story goes that one of the first breeders of Long-Haired Siamese’ cats the forerunners of the Balinese breed thought the name too long and unwieldy. She thought her cats moved with the grace of Balinese dancers’, and so a new name stuck. And what better way to acknowledge your new friend’s namesakes, than with a name from Indonesia? Here are some common – and not so common – names for people in Bali. If languages aren’t your thing, and your worried about pronunciation, one of these short names could be right for you PutuGedeMadeDewaTutMayaKadeAriBaliAmanAryaImanAdiRiaKaliArtiCobinSitraKetutGustiDarmaKetutSudra If you’re after something a little more substantial, then why not consider one of these instead WayanKadekNengahNyomanKomangBalikAgungTjokordNyomanWesyaKsatriaBrahmanaPedjengSulastriSusilaTjokaGunturSantosoKiranaMarshanda The Best Balinese Cat Names Picking out the perfect name for your cat – Balinese or otherwise – is a very personal thing. Hopefully some of the names here have jumped out at you. If you think one could fit your cat, try it on for size. Roll it around your tongue a while, and try calling your cat the name a few times out loud. And let us know when you’ve found the right Balinese cat name for your pet! Where did you look for inspiration? What names did you choose? Let us know in the comments section below!
MengetahuiMakna dan Sejarah Kawitan di Bali. Kawitan berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur
BEBERAPA KELOMPOK MASYARAKAT YANG MENDIAMI PULAU BALI BERDASARKAN KURUN WAKTU KEDATANGANNYA I. Masyarakat Bali Mula Masyarakat Turunan yang akhirnya menjadi Tarunyan yang sekarang dikenal dengan masyarakat Terunyan dan sekitarnya. II. Masyarakat Bali Aga Mayarakat pengikut Maha Rsi Markandeya yang berasal dari Desa Aga di lereng Gunung Raung Jawa Timur yang di Bali memperkenalkan sistim sawah tadah hujan yang disebut padi gaga masyarakanya kemudian dikenal dengan Masyarakat Bali Aga. III. Masyarakat Bali Kuna Adalah masyarakat keturunan Sri Ksari Warmadewa beserta pengikut-pengikutnya. IV. Masyarakat Warga Pasek seperti Maha Gotra Pasek Sanak Pitu yang menurunkan Warga Pasek, Bandesa dan Dukuh 1. Maha Gotra Pasek Kayu Selem menurukan Warga Pasek Bali 2. Maha Gotra Pande Mpu Gandring Sakti menurunkan Warga Pande V. Masyarakat Majapahit dari Pulau Jawa 1. Ksatrya Sidemen menurunkan Warga Arya Bang Sidemen 2. Ksatrya Dhalem 3. Arya Damar 4. Arya Kutawaringin VI. Masyarakat yang merupakan keturunan Dang Hyang Nirartha 1. Brahmana ZAMAN SETELAH MAJAPAHIT MENGUASAI BALI Putera keempat dari Danghyang Soma Kepakisan atau Mpu Soma Kepakisan di Jawa yang dijuluki Dalem Ketut bergelar abhiseka Ratu Sri Kresna Kepakisan, karena pusat pemerintahan di Samprangan beliau juga dikenal dengan Dalem Samprangan memerintah Bali sebagai Adipati Majapahit tahun 1350-1380 Masehi. PANUGRAHAN “SRI KRESNA KEPAKISAN” KEPADA 1. KI PASEK GELGEL Sabda Dalem “Wahai saudara Pasek Gelgel anugerahku berlaku untuk sterusnya bagi keturunanmu, keturunan saudara bebas dari kewajiban tetegenan, bebas aturan pejah manjing, bebas dari hukuman mati. Bila saudara atau keturunan saudara melakukan kesalahan atau melanggar Undang-Undang sekali, dua kali, tiga kali harus diampuni, bila harus dihukum mati diganti dengan hukuman diusir, demikian anugerahku. Pada kesempatan tersebut juga dianugerahkan “ Dalam pelaksanakan upacara Pitra Yadnya atiwa-tiwa seketurunanmu boleh memakai wadah metumpang bade, tidak dibenarkan memakai tumpang, saya mengambil tumpangnya. Selain tumpang boleh dipakai, seperti Bhoma bersayap dimuka dan dibelakang, kapas sembilan warna, meuncal, mekekitir, mepetulangan Singha, tempat pembakaran mayat bertumpang tiga, mebale lunjuk. Hal ini berlaku apabila pelaksanaan atiwa-tiwa di lingkungan istana, bila di luar istana sesuaikan dengan amanat dari Mpu Ketek”. 2. KI PATIH ULUNG Sri Kresna Kepakisan bersabda kepada putera Mpu Dwidjaksara yang bernama Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung “berhubung leluhur Ki Patih Ulung dahulu di tugaskan ke Bali dari Majapahit guna mengatur dan memimpin rakyat Bali pada setiap tempat, namun hingga kini gagal dengan alasan belum adanya Adipati. Akhirnya Majapahit menobatkan saya Sri Kresna Kepakisan sebagai Adipati Majapahit di Bali, oleh karena itu bukannya saya menurunkan derajat saudara namun saudara sendirilah yang menurunkan derajat diri saudara, dahulu saudara adalah Brahmana Wangsa kini menjadi Vaisya Wangsa”. Sejak saat ini pula keturunan Sang Sapta Rsi yang tadinya bergelar Pangeran, I Gusti, Kyayi dan sebagainya tidak boleh lagi menggunakan gelar tersebut dan yang dibolehkan adalah Ki Pasek dan Ki Bandesa”. Latar belakang keluarnya sabda Dalem tersebut adalah karena tahun 1267 Mpu Dwijaksara leluhur dari Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung diutus ke Bali oleh Gajah Mada dari Majapahit dengan tujuan untuk mengatur rakyat Bali guna membangun kembali Kahyangan-kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga. Namun kenyataannya baru berhasil merenovasi bekas Parhyangan Mpu Ghana di Gelgel sebatas bebaturan saja sehingga Pura tersebut disebut Pura Batur Penganggih. Yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan keturunan Warga Pasek Sapta Rsi. Selain merenovasi bekas Parhyangan sekte Ghanapati, Mpu Dwijaksara juga merenovasi sebuah taman yang disebut Taman Bagendra di Gelgel. PURA DASAR BHWANA GELGEL SEBAGAI PEMUJAAN TRI WARGA Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Smara Kepakisan dan karena pusat pemerintahan di Gelgel beliau juga dikenal dengan Dalem Gelgel yang pertama. Dalam masa pemerintahan Sri Smara Kepakisan 1380-1460 masehi beliau membangun tempat pemujaan Tri Warga di Pura Batur Penganggih yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem dan Warga Pande. Dan status Pura Batur Penganggih ditingkatkan menjadi Pura Kahyangan Jagat yang dinamakan Pura Dasar Bwana Gelgel. SRI SMARA KEPAKISAN DALAM RANGKA MENARIK SIMPATI RAKYAT BALI Guna menarik simpati rakyat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna, Sri Smara Kepakisan Putra keempat Sri Kresna Kepakisan menyatakan/menetapkan 1. Pura Dasar Bhwana Gelgel sebagai Pura Pusat Kerajaan seperti Pura Pusering Jagat di zaman Kerajaan Bedulu. 2. Pura Besakih sebagai Pura Kerajaan untuk Seluruh Bali. 3. Mengangkat tokoh-tokoh masyarakan Bali sebelum Majapahit seperti Ki Pasek Gelgel, Lurah Kapandean dari golongan Pande sebagai pejabat Kerajaan. Keturunan Ki Ularan sebagai Tumenggung atau Panglima Perang. 4. Kesenian Jawa Hindu sangat berkembang dan mendesak kesenian Bali sebelumnya. 5. Dalam tata cara pemujaan muncul Parhyangan-Parhyangan atau Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan berdasarkan corak Majapahit namun mendapat pengaruh kepercayaan tentang arwah leluhur masyarakat Bali sebelumnya seperti masyarakat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna. Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan/klan guna menghormati arwah leluhur inilah akhirnya dikenal dengan nama PURA KAWITAN. 6. Pura sesungsungan arwah leluhur satu keluarga tersebut adalah merupakan Siwa Lingga, kemudian oleh Dalem diberikan panugerahan seperti Aji Purana Prasasti dan Piagem rikalaning atatiwa mepitra yadnya guna melengkapinya. 7. Untuk mencari dukungan lebih besar Sri Smara Kepakisan pada tanggal 4 Maret 1430 melaksanakan Upacara Sradha besar-besaran di bukit Penulisan guna untuk menghormati wafatnya Raja Bedulu yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten. KELENGKAPAN KAWITAN SEBAGAI SIWA LINGGA Dalam perjalanan waktu sistem pemujaan arwah leluhur yang kemudian dikenal dengan nama Pura Kawitan terus mengalami penyempurnaan. Seperti dimuat dalam “Prasasti Panamaskaraning para Arya sakyeng Jawi ikang tumedun maring Bali angiring Sira Dalem Chili” drwen Puri Smarapura Smarawijaya Klungkung. Persyaratan suatu wangsa ditandai dengan adanya Tri Sinunggal. Jajaran Pelinggih-Pelinggih Pura Kawitan merupakan Siwa Lingga, Siwa Lingga bermakna tempat melinggastanakan Ida Betahara Siwa, Ida Bethara Siwa dalam hal keleluhuran adalah Sang Hyang Siwa Guru Kemulan dan pengembangannya, Siwa Guru bermakna Guru Rupaka. Yang wajib kesungsung sembah di Pura Kawitan adalah Tri Sinunggal yaitu Aji Purana Prasasti, dimana untuk dapat dikatakan cerdas/lengkap pascat bila dilengkapi Aksara Kepatian bila digunakan oleh keturunannya bernama Surat Kajang serta ada Piagem ketika melaksanakan Pitra Yadnya rikalning atatiwa. Karena Kawitan merupakan asal mula dari suatu Wangsa Apan Kawitan ngaran Wangsa. SISTIM CATUR WANGSA KONSEP DANGHYANG NIRARTHA Tahun isaka 1411/1489M Danghyang Nirartha tiba di Bali ketika pemerintahan Dalem Waturenggong yang berpusat di Gelgel. Dalem Waturenggong memerintah Bali dari tahun isaka 1382/1460M – tahun isaka 1472/1550M, beliau adalah Dalem Gelgel yang ke dua. Danghyang Nirartha yang di lingkungan masyarakyat Bali dikenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rawuh, namun dikalangan pemerintahan dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Semenjak zaman Danghyang Nirartha sebagai Baghawanta Dhalem Gelgel diberlakukanlah Sistim Catur Wangsa yang pada hakekatnya berdasarkan keturunan atau kelahiran semata-mata. Sistim Catur Wangsa ini semakin lama semakin diperkuat dengan peraturan Pemerintah/Undang-Undang yang dibuat oleh Penguasa demi langgengnya kedudukan/kekuasaan mereka. Danghyang Nirartha ke Bali bersama 7 tujuh putera-puteranya dari 3tiga kali pernikahan, putera-putera Danghyang Nirartha dengan isteri asal Kediri disebut Kamenuh, dari isteri asal Kaniten Pasuruan disebut Manuaba, dari isteri asal Belambangan disebut Kaniten. Di Bali Danghyang Nirartha menikah lagi 2dua kali, dengan adiknya Pangeran Bandesa Mas puteranya disebut Mas dan dengan pembantunya panjroan Bandesa Mas disebut Handapan yang kemudian lebih dikenal dengan Antapan. Putera-putera Danghyang Nirartha inilah diberi gelar Brahmana, kemudian keluarga yang memerintah keluarga Raja disebut Ksatrya dan yang ketiga disebut Weisya. Ketiga golongan tersebut akhirnya mengkultuskan diri yang disebut TRI WANGSA. Kemudian berkembang ada istilah Jro dan Jaba, mereka yang tidak mempunyai jabatan dalam Pemerintahan atau orang-orang di luar Bali Rajya di luar Puri disebut ANAK JABA. Jadi ANAK JABA disini tidak sama dengan SUDRA dalam Sistim Warna di India, oleh karena itu janganlah menyebut diri anak sudra. Dengan demikian maka dari sinilah munculnya istilah CATUR WANGSA yaitu 1. Wangsa Brahmana 2. Wangsa Ksatrya 3. Wangsa Wesya 4. Di luar Tri Wangsa disebut Anak Jaba atau Wangsa Jaba yang bermakna Wangsa di luar yang terlibat dalam pemerintahan. Jadi antara Tri Wangsa dan Jaba hanyalah pembedaan dalam fungsi dan tugas kewajiban kepada negara atau kerajaan. PANUGRAHAN DALEM WATURENGGONG KEPADA KETURUNAN KI PASEK GELGEL Setelah Dalem Waturenggong berhasil menumpas pemberontakan Kyayi Batan Jeruk sekitar tahun isaka 1478/1556M berkat jasa-jasanya Dalem Waturenggong memanggil keturunan Ki Pasek Gelgel seperti Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, Ki Gaduh, Ki Ngukuhin, Ki Kubayan, Ki Salahin. Termasuk juga keluarga Pasek Gelgel yang lainnya yang tersebar di seluruh Bali, agar segera menghadap Dalem. Dengan disaksikan oleh para Arya. Berkat panugrahan tersebut maka 1. Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, keturunannya kemudian dikenal dengan Wangsa Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung. 2. Ki Gaduh, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Gaduh. 3. Ki Ngukuhin, keturunannya keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Ngukuhin. 4. Ki Kubayan, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Pasek Kubayan. 5. Ki Salahin, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Salahin Demikian semua keluarga Ki Pasek Gelgel diberikan gelar kepahlawanan yang disebut dengan Kewangsaan atau Wangsa. Sabda Dalem kepada keluarga Pasek “Hai Pasek sekalian, sampaikan kepada keluarga Pasek semua bahwa saudara-saudara ini sangat cinta dan bakti kepadaku, seperti halnya leluhurmu yang menyebabkan saya dan para leluhurku tetap menjadi Dalem di Bali”. Dengan ini saya memberikan panugreahan Amanat “Bahwa saudara-saudara tidak boleh dijatuhi hukuman mati, harta benda saudara tidak boleh dirampas oleh Dalem, tidak boleh dipermainkan. Jika berbuat kesalahan yang semestinya dihukum mati diganti dengan hukuman pembuangan selama satu bulan dan seterusnya”. Dalam hal atiwa-tiwa Pitra Yadnya mayat harus dibungkus daun pisang kaikik, bagi yang sudah menjadi Pandita usungan mayat diperbolehkan menggunakan Padma, petulangannya lembu putih. Yang masih welaka boleh mebade tumpang pitu petulangannya lembu cemeng dan seterusnya. IDENTITAS TERKAIT WANGSA CELUK SESUAI AJI PURANA PRASASTI Sebagai Çiwa Lingga bagi Wangsa Celuk yang jajaran Pelinggih-Pelinggihnya sesuai dengan yang tersurat dalam 5 Cakep Lontar Babad Celuk dipugar, direnovasi dan dilengkapi menjadi ekadasa lingga oleh I Gusti Mangku Rat keturunan I Gusti Celuk generasi kesepuluh/undag kaping 10. Lokasinya di sebelah utara Pura Purusada Loring Pura Purusada di tempat mana roh suci Ida Bethara Kawitan dilinggastanakan pada zaman Ki Gusti Tangkeban generasi ketiga/undag kaping 3. Aji Purana Prasasti bagi Wangsa Celuk di muka bhumi ring jana loka merupakan panugerahan dari Dhalem Pemayun Raden Pangarsa yang juga dikenal dengan Dhalem Bekung beliau adalah putera dari Dhalem Waturenggong. Kajang Kawitan atau Kajang Kulit adalah bagian yang tak terpisahkan dari Aji Purana Prasasti. Bagi Wangsa Celuk Kajang Kawitan yang dimiliki merupakan penugerahan dari Hyang Prama Kawi kepada Ki Gusti Putu Rasa di pantai Tulamben Tianyar. Beginilah sebagai tanda keutamaan yang disebut dengan Çiwa Lingga wujudnya/ditulis dalam aksara kepatian. Bhisama Ki Gusti Putu Rasa kepada keturunan Wangsa Celuk Trah Arya Kepakisan, janganlah membicarakan penugerahan ini jika bukan pada tempatnya hingga kelak dikemudian hari. Ki Gusti Putu Rasa adalah keturunan I Gusti Celuk Ida Bethara Kawitan generasi ke sepuluh/undag kaping 10. Surat Kajang Kawitan terdiri dari lima lembar yaitu Ulon, Aksara Kepatian, Recadana, Krebsari Rurug dan Kalasa. Piagem yang merupakan panugerahan Dhalem Pemayun kepada Wangsa Celuk ketika pratisantana Wangsa Celuk melaksanakan acara Atatiwa/Atiwa-tiwa/Pitra Yadnya. Isi panugerahan dalam Piagem secara singkat demikian “Rikalaning atatiwa turunaira Ki Gusti Celuk trah Arya Kepakisan wenang mebade tumpang pitu, mepetulangan Singha atawa Gajahmina, medamar kurung, metumpang salu…..” dan seterusnya. KESIMPULAN Kawitan Wangsa atau Kawitan suatu wangsa/soroh/klan adalah suatu gelar panugerahan Dhalem atau Raja yang diberikan kepada seseorang dari suatu keluarga atau keturunannya berkat jasa-jasa yang dilakukan oleh leluhurnya terhadap penguasa pada zaman kerajaan Bali. Yang distanakan di Pura Kawitan adalah Ida Bethara Kawitan yang merupakan Kawitan/asal mula dari Wangsa tersebut. Sementara yang distanakan di Pura Pedharman atau Pelinggih Pedharman adalah Leluhur tertentu termasuk Ida Betahara Kawitan yang mempunyai jasa luar biasa menurut penilaian pemberi penugrahan. Sumber pustaka Salinan berbagai lontar koleksi Gedong Kertya Singaraja Kliping Koran Denpost 11 Nopember 2002 halaman 8 rubrik Babag oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi Salinan Prasasti druwen Puri Smarapura Smara Wijaya Klungkung “Panamaskaraning Para Arya saking Jawi tumekeng Bali kang angiring Dhalem Chili”. Bali dalam Lintasan waktu Sejarah Politik Bali dari abad 10 sampai dengan pendudukan Kolonial Belanda oleh I Md Dwi Putra Sanjaya, MIB 8 April 2003. ONG…_/\_
jlVntD.
  • abyl2kb8qq.pages.dev/73
  • abyl2kb8qq.pages.dev/280
  • abyl2kb8qq.pages.dev/423
  • abyl2kb8qq.pages.dev/6
  • abyl2kb8qq.pages.dev/213
  • abyl2kb8qq.pages.dev/39
  • abyl2kb8qq.pages.dev/345
  • abyl2kb8qq.pages.dev/417
  • nama nama kawitan di bali